Thursday, February 21, 2013

NATAL: CINTA DAN KEPRIHATINAN ALLAH BAGI MANUSIA



NATAL: CINTA DAN KEPRIHATINAN ALLAH BAGI MANUSIA
Beberapa Pokok Renungan tentang Keluarga Kudus Nazaret

Setiap tahun kita merayakan Natal, merayakan kembali kelahiran Yesus Kristus Sang Penebus. Dalam perayaan itu kita merenungkan kembali bahwa misteri Allah yang berpaling kepada manusia mendapat bentuk yang kongkret dalam Keluarga Kudus Nazaret. Puncak dari misteri itu adalah penjelmaan Putera Allah yang terjadi dalam Keluarga Kudus. Dalam keluarga itu jawaban manusia atas pemberian Allah pun mendapat ungkapan yang paling jelas. Maka dalam Keluarga Kudus kita menemukan kedua unsur ini: a) Allah mengutus Putera-Nya untuk memberikan keselamatan kepada kita serta untuk memperdamaikan kita dengan-Nya; b) dalam Maria dan Yusuf umat manusia menerimanya dengan hati penuh syukur. Berikut ini merupakan pokok renungan tentang Keluarga Kudus berdasarkan Perjanjian Baru:

1. Keluarga Kudus seperti Keluarga-keluarga lain
            Ketiga injil sinoptik memuat perikopa tentang pewartaan Yesus di rumah ibadat Nazaret (Mat 13: 53-58; Mrk 6: 1-6; Luk 4: 14-30). Ketiga penginjil memberikan reaksi dari pihak pendengar: a) rasa heran, takjub, reaksi positif atas cara mengajar yang menarik; b) rasa kecewa, menolak, reaksi negatif: Ia seorang yang biasa yang sudah lama kita kenal, bagaimanakah Ia berani tampil ke muka seakan-akan Ia seorang yang luar biasa.
            Peristiwa itu sangatlah penting sebagai sumber informasi tentang kehidupan Keluarga Kudus Nazaret. Meskipun di satu pihak orang-orang Nazaret merasa bangga dan tertarik dengan pewartaan Yesus, namun di lain pihak rasa kecewa, tersandung, begitu kuat, sehingga mereka menolak Dia. Reaksi kedua itu hanya masuk akal, kalau ternyata Yesus dan keluarga-Nya selama puluhan tahun di Nazaret tidak pernah memberi alasan bahwa Yesus seorang istimewa dan luar biasa. Oleh sebab itu boleh ditarik kesimpulan bahwa Keluarga Kudus seperti semua keluarga-keluarga lain di desa kecil Nazaret. Keluarga-keluarga tersebut hidup sebagai petani, sederhana, tidak kaya tidak miskin. Perumahan, termasuk rumah Keluarga Kudus, cukup baik jika diperbandingkan dengan perumahan waktu itu di desa-desa lain. Rumah Yusuf misalnya terdiri atas dua ruangan yang cukup besar; ruangan pertama adalah suatu gua alam yang diberi tambahan ruangan baru di depan dengan konstruksi papan. Dan di bawah lantai gua dipahat suatu ruangan ekstra lagi semacam gudang untuk menyimpan gandum, minyak zaitu, anggur dlsb. Rumah seperti itu cukup mewah menurut ukuran zaman. Kalau Yusuf/Yesus disebut sebagai “tukang kayu”, maka harus dimengerti, bahwa di samping pekerjaan sebagai petani ia mempunyai keahlian khusus sebagai tukang. Kombinasi petani-tukang menjamin suatu kesejahteraan lumayan, apalagi bagi keluarga kecil seperti mereka. Bagaimana pun juga, bayangan kita tentang Keluarga Kudus sebagai keluarga yang miskin tidak berdasarkan fakta.
Penting bagi renungan kita tentang Keluarga Kudus adalah catatan tadi, bahwa mereka hidup secara biasa, tidak menyolok di Nazaret. Jadi mereka mengikuti irama pekerjaan, waktu libur, doa yang biasa bagi keluarga Yahudi saleh di pedalaman.

2. Ketaatan
            Unsur lain yang ditekankan dalam diri Keluarga Kudus adalah ketaatan. Dalam Injil Kanak-kanak kita menemukan dimensi ketaatan itu. Dalam Injil Matius  dikatakan sampai tiga kali, bahwa Yusuf taat kepada kehendak Tuhan. Dalam Mat 1:19 dikatakan tentang Yusuf: “seorang yang tulus hati”. Itu merupakan istilah teknis untuk menggambarkan Yusuf sebagai pribadi yang saleh, suci, yang hidup dalam segala sesuatu sesuai dengan Hukum Taurat. Lukas menggarisbawahi kerelaan Maria untuk taat kepada Allah dalam perikopa tentang Kabar Gembira (“cerita panggilan Maria”, Luk 1: 26-38). Cerita mencapai puncaknya dalam pernyataan taat Maria kepada kehendak Tuhan yang disampaikan kepadanya oleh malaikat: “Sesungguhnya….” Cerita tentang Yesus yang hilang di kenisah memuat dua unsur ketaatan Yesus: ay 49 “Tidakkah kamu tahu, bahwa aku harus berada…” dan dalam ringkasan hidup di Nazareth sesusah peristiwa itu (ay 51-52) dikatakan: “….. dan Ia patuh kepada mereka….”.
            Tentang Keluarga Kudus sebagai keseluruhan Lukas menekankan ketaatan, baik ketaatan kepada Allah yang kehendak-Nya diketahui melalu perintah penguasa politik: perjalanan ke Bethlehem bagi sensus, maupun kepada Allah yang kehendak-Nya diketahui melalui Hukum Taurat (Luk 2: 22-42).

3. Kesediaan untuk melayani
            Maria mengggambarkan diri sebagai hamba Tuhan (Luk 1:37 dan 1:48). Hamba (atau budak) Tuhan menggambarkan dua unsur: kebanggaan karena boleh menjadi hamba Tuhan dan kesadaran akan ketergantungan 100% dari Tuhan: aku ini hanya hamba Tuhan saja, Tuhan boleh mengatur saya, Dialah majikanku. Tokoh-tokoh besar dalam PL seperti Abraham, Musa, nabi-nabi diberi “gelar” hamba Tuhan. Disamping itu ada perikopa Luk 1: 39-45, 56 tentang pelayan Maria terhadap Elisabet. Tentang Yusuf Mat 1: 24-25 berceritera, bahwa ia rela menjadi seperti bapa bagi Yesus dan suami bagi Maria, kedudukan yang istimewa itu memberikan lebih banyak kewajiban daripada hak  kepada Yusuf, tetapi ia bersedia menerima peranan yang terbatas itu demi Yesus dan Maria.

4. Doa
            Renungan tentang doa dalam Keluarga Kudus harus bertitik-tolak pada kebiasaan bagi orang Yahudi saleh di zaman Yesus. Sudah cukup biasa bagi orang waktu itu untuk menguduskan hari dengan berkumpul di sinagoga pagi dan sore untuk mendaraskan doa. Selain doa bersama di sinagoga, orang Yahudi juga berdoa dalam keluarga, sekurang-kurangnya doa sebelum makan yang berbentuk rumusan pujian kepada Allah yang memberikan rejeki. Demikianlah sudah terjamin suatu irama doa yang menguduskan hari.
            Dalam Luk 2: 19;51 Lukas menggarisbawahi kebiasaan Maria untuk merenungkan peristiwa-peristiwa istimewa yang dialaminya, artinya peristiwa dan perkataan yang belum jelas pada saat itu, direnungkan terus dihadapan Tuhan sampai terang iman menyinari peristiwa dan perkataan itu, sehingga sedikit demi sedikit arti mendalam menjadi jelas baginya. Pada kesempatan kunjungan kepada Elisabet, Maria berdoa Magnificat. Magnificat merupakan semacam mazmur pujian dari orang-orang kristen yahudi pada abad pertengahan. Dengan doa itu mereka ingin memuji Allah yang sejak dulu bertindak di Israel sesuai dengan janji-janji-Nya kepada leluhur Abraham, dan tindakan itu memuncak dalam diri Yesus, dalam karya penyelamatan-Nya. Maria menjadi teladan dalam menanggapi karya keselamatan melalui pujian.
            Tentang Yesus ada catatan bahwa hubungan dengan Allah semakin mendalam  (Luk 2:40, 52). Juga catatan dari Luk 2:49 tentang “harus berada dalam rumah Bapa-Ku” menyatakan hubungan yang semakin erat antara Yesus dan Bapa. Dan kebiasaan Yesus selama hidup publik-Nya untuk menyendiri kerap kali guna berdoa mengandaikan suatu kebiasaan yang sudah pasti sudah berkembang di Nazaret. Hal yang sama dapat dikatakan tentang sekian banyak pengajaran Yesus tentang doa: pengajaran dimaksudkan untuk menanamkan dan mengembangkan dalam diri murid-murid-Nya kebiasaan dan pengalaman pribadi selama sekian tahun.
            Tentang Yusuf tiada catatan khusus, tetapi sebagai seorang Yahudi saleh yang hidup bersama-sama Maria dan Yesus yang sikap/ kebiasaan berdoa ditekankan, Yusuf tak dapat tidak mempunyai sikap yang sama.

5. Penderitaan
            Dalam Luk 2: 29-35 Simeon, atas dorongan dan pengaruh Roh Kudus (Luk 2: 25-27) mengartikan peranan Yesus dalam sejarah penyelamatan. Yesus akan menjadi kemuliaan bagi umat Israel dan sarana penyelamatan bagi semua bangsa. Itulah peranan luhur yang akan dijalankan Yesus. Orang tua-Nya tak dapat tidak heran dan bangga atas perkataan sehebat itu. Namun kemudian Simeon melengkapi nubuatnya dengan suatu keterangan yang menempatkan Yesus dalam deretan tokoh-tokoh besar PL. seperti Musa, seperti para nabi, karya penyelamatan Yesus akan menimbulkan dua reaksi: keselamatan bagi yang menerima Dia dan perkatan-Nya, penghancuran bagi yang menolak. Maria sebagai orang yang berhubungam erat dengan Yesus (dan hal yang sama berlaku bagi Yusuf) akan mengalami dalam hati seluruh derita yang disebabkan oleh penolakan terhadap Yesus. Yesus amat menderita dari penolakan yang akan membawa-Nya sampai Kalvari, tetapi Maria sebagai ibu-Nya akan berpartisipasi penuh dalam derita itu. Itulah pedang yang menembus jiwanya. Sejauh Yusuf masih mengalaminya (umumnya para ahli berpendapat, bahwa Yusuf meninggal sebelum karya publik Yesus), hal yang sama berlaku bagi dia. Nubuat Simeon membantu Keluarga Kudus untuk mengartikan derita yang mereka alami sebagai partisipasi dalam karya penyelamatan Allah melalui Yesus.

6. Iman
            Ciri yang paling menonjol dalam Keluarga Kudus adalah sikap iman mereka. Kita agak mudah mengandaikan bahwa cerita-cerita dalam Injil Kanak-kanak merupakan semacam laporan terperinci dari peristiwa (misalnya cerita tentang Kabar Gembira). Peristiwa-peristiwa ajaib sekitar kelahiran Yesus (kelahiran ajaib dari seorang perawan) menimbulkan sejumlah pertanyaan mengenai Anak itu tetapi sedikit jawaban saja. Maria menjawab “ya”. Selama 30 tahun mereka bertiga hidup dalam suasana gelap-terang yang khas bagi kita orang beriman. Sedikit demi sedikit mereka dan kita, dalam suasana doa dan renungan, dalam ketaatan dan keragu-raguan berkembang ke arah “ya!” bulat kepada kehendak Bapa. Selama masa di Nazaret berkembanglah dalam diri mereka “talenta dasar”, yakni keterbukaan bagi kehendak Allah, yang tidak/belum mereka ketahui dengan jelas dan kesediaan mereka untuk melaksanakannya.

Semoga melalui beberapa renungan mengenai Keluarga Kudus ini kita, keluarga-keluarga kristiani semakin dapat memaknai dengan benar perayaan Natal yang tidak selalu harus identik dengan pesta, baju baru dlsb, demikian pula dalam “berkatekese” tentang makna natal kepada generasi muda maupun anak-anak.  SELAMAT NATAL dan TAHUN BARU.

Al. Bagus Irawan MSF

Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah UTUSAN Edisi No. 12 Tahun ke- 61, Desember 2011.

No comments:

Post a Comment