“Masa hidup kami hanya
tujuh puluh tahun, dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya
adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang
lenyap.” (Mzm 90: 10).
Mazmur di atas merupakan kutipan yang diambil oleh
almarhum Paus Yohanes Paulus II saat beliau menulis surat untuk lansia. Tujuh
puluh tahun merupakan usia lanjut ketika kata-kata itu dituliskan dalam
mazmur dan tidak banyak orang yang
usianya melebihi tujuh puluh tahun. Dewasa ini, ilmu kedokteran sudah maju dan
keadaan sosial ekonomi sudah membaik, maka usia harapan hidup pun semakin
meningkat di banyak bagian dunia. Namun, benar juga bahwa tahun-tahun berlalu
dengan cepat dan anugerah hidup, meskipun mengandung segala macam jerih payah
dan derita, sangat indah dan berharga sehingga tidak selayaknya kita merasa
jemu.
Makna dan Nilai Usia tua
Dewasa ini orang
hidup lebih lama dan lebih sehat daripada masa lalu. Berkat pendidikan mereka
yang lebih tinggi mereka dapat mengembangkan segala bakat-bakat dan
minat-minat. Usia tua tidak lagi berarti ketergantungan pada orang lain atau
berkurangnya mutu hidup. Seringkali muncul anggapan bahwa usia tua dipandang
sebagai masa kemunduran, masa kelemahan manusia dan sosial. Ada sebagian
orang-orang yang lanjut usia memandang usia tua sebagai pengalaman yang
traumatis serta bereaksi terhadap usia tua mereka dengan sikap-sikap kepasrahan
yang pasif, pemberontakan, penolakan dan keputusasaan. Pandangan seperti itu tentu
tidak sepenuhnya benar. Ada orang-orang berusia lanjut yang mampu melihat arti
penting usia tua dalam konteks eksistensi manusia dan yang menghadapi usia tua
tidak hanya dengan ceria dan bermartabat, tetapi juga sebagai masa hidup yang
memberi mereka kesempatan-kesempatan untuk tumbuh berkembang dan bertekad
berbakti.
Mutu usia tua
seseorang bergantung terutama pada kemampuannya untuk memahami maknanya dan
menghargai nilainya, baik pada tingkat manusiawi semata-mata maupun pada
tingkat iman. Oleh sebab itu, kita harus meletakkan usia tua dalam konteks
penyelenggaraan Allah sendiri yang adalah kasih. Setiap orang harus
menyambutnya sebagai tahap dalam perjalanan yang digunakan oleh Kristus untuk
menuntun kita ke rumah Bapa (lih. Yoh
14:2). Hanya dengan diterangi iman dan diperkuat oleh pengharapan yang tidak
akan sia-sia (lih Rm 5:5), kita akan
mampu menyambut usia tua dengan cara-cara yang benar kristiani, baik sebagai
anugerah maupun tugas.
Kehadiran para
lansia harus diakui sebagai anugerah. Bagaimana pun kekehadiran para lansia
tetap memberikan sumbangan bagi generasi zaman ini untuk menemukan kembali
makna utama hidup. Berkat pengalamannya para lansia mampu menjadikan masyarakat
dan kebudayaan lebih manusiawi dan sangat berharga. Berikut merupakan
karisma-karisma khas usia tua, yaitu: 1) Sikap
tanpa pamrih. Kebudayaan zaman ini mengukur nilai tindakan-tindakan
seseorang menurut kriteria-kriteria efisiensi dan kesuksesan dengan mengabaikan
sikap tanpa pamrih: memberi sesuatu tanpa mengharapkan balasan. Para lansia
dapat mengingatkan masyarakat yang terlalu sibuk akan perlunya meretas
rintangan-rintangan dari sikap acuh tak acuh yang memerosotkan. 2) Ingatan. Generasi muda sedang kehilangan
kesadaran bersejarah dan akibatnya kesadaran akan jati diri mereka sendiri.
Masyarakat yang mengabaikan masa lalu lebih mudah beresiko mengulangi
kesalahan-kesalahannya. Hal ini antara lain disebabkan oleh sistem kehidupan
yang telah menyingkirkan dan mengasingkan kaum lansia. 3) Pengalaman. Dewasa ini orang hidup dalam dunia yang rupanya telah
menggantikan nilai pengalaman kaum lansia sepanjang hidup mereka dengan ilmu
dan teknologi. Kedua hal tersebut tidak boleh menghalangi para lansia, sebab
bagaimanapun juga mereka masih memiliki banyak hal untuk dikatakan kepada
generasi muda dan dibagikan kepada mereka. 4) Kebergantungan satu sama lain. Orang-orang lanjut usia, dalam usaha
mereka mencari kawan, menantang masyarakat yang kerap kali meninggalkan mereka
yang lebih lemah. Kaum lansia mengingatkan kita akan kodrat sosial manusia dan
perlunya memperbaiki tata susun hubungan antar pribadi dan sosial. 5) Visi hidup yang lebih lengkap. Usia
lansia merupakan usia kesederhanaan dan kontemplasi. Nilai-nilai afektif, moral
dan religius yang hidup dalam diri kaum lansia merupakan sumber daya yang
sangat diperlukan untuk memupuk keselarasan masyarakat, keharmonisan keluarga
dan keserasian individu. Nilai-nilai ini mencakup kesadaran yang
bertanggungjawab, iman akan Allah, persahabatan, sikap tidak memihak pada
kekuasaan, pertimbangan, kebijaksanaan, kesabaran dan keyakinan batin yang
dalam akan perlunya menghormati alam ciptaan dan memupuk kedamaian.
Masalah utama yang dihadapi lansia: Marginalisasi
Satu masalah yang
barangkali melebihi masalah-masalah lain yang melukai martabat para lansia adalah
marginalisasi. Banyak faktor yang membuat banyak lansia tersisih dalam
masyarakat dan kehidupan sipil: ketersingkiran dari tanggung jawab pada tingkat
kelembagaan dan kelemahan-kelemahan sosial yang diakibatkannya; kemiskinan atau
berkurangnya secara drastis pendapatan serta sumber-sumber daya finansial yang
diperlukan untuk menjamin standar hidup yang layak; dan semakin tersingkirnya
kaum lansia dari keluarga dan lingkungan sosial mereka sendiri.
Selain
faktor-faktor di atas, faktor yang paling menyedihkan dari marginalisasi ini
adalah berkurangnya hubungan-hubungan manusiawi. Para lansia menderita tidak
hanya karena tidak dapat berkontak dengan orang lain, tetapi juga karena merasa
ditinggalkan, kesepian dan terpencil. Para lansia mengalami suatu rasa tidak
berdaya karena tidak dapat mengubah situasi mereka sendiri sebagai akibat
ketidakmampuan mereka untuk ambil bagian dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut mereka baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara. Akibatnya,
mereka kehilangan rasa kebersamaan dengan masyarakat tempat mereka berada
sebagai anggota.
Peran serta lansia dalam kerasulan Gereja
Tidak dapat
dipungkiri bahwa lansia masih dapat ikut berperan serta dalam kerasulan Gereja.
Oleh sebab itu persekutuan gerejawi dipanggil untuk menanggapi partisipasi para
lansia dalam Gereja dengan mempertimbangkan “karunia” mereka sebagai saksi
tradisi iman (Mzm 44:2; Kel 12:26-27), sebagai guru kebijaksanaan hidup (Sir
6:34; 8:11-12), dan sebagai pekerja amal kasih. Berikut berbagai bidang yang
terbuka untuk kesaksian lansia dalam Gereja:
- Kegiatan amal kasih
Banyak di antara
para lansia yang masih mempunyai kekuatan fisik, mental dan sipiritual yang
cukup untuk membaktikan waktu dan bakat mereka sendiri dengan penuh kemurahan
hati kepada berbagai kegiatan dan program pelayanan sukarela.
- Kerasulan
Para lansia dapat
memberikan sumbangan yang besar kepada pewartaan Injil sebagai katekese dan
hidup rohani.
- Liturgi
Banyak para lansia
sudah secara efektif memberikan sumbangan kepada pelayanan di tempat-tempat
ibadat. Mereka dapat dilibatkan dalam pelayanan liturgi, serta bentuk-bentuk
devosi yang lain.
- Perkumpulan dan gerakan gerejawi
Sesudah Konsili
Vatikan II, kaum lansia mulai menunjukkan minat yang lebih kuat pada
persekutuan iman mereka. Perkumpulan dan gerakan gerejawi yang semakin tumbuh
sungguh memperkaya Gereja. Hal ini dikarenakan adanya suatu bentuk partisipasi
lintas generasi.
- Keluarga
Keluarga dan
masyarakat dapat memetik banyak manfaat dari penilaian kembali peran kaum
lansia dalam pendidikan. Hal ini dikarenakan kaum lansia merupakan “ingatan
sejarah” bagi generasi muda. Kaum lansia adalah pengemban nilai-nilai asasi
manusia.
- Kontemplasi dan doa
Kaum lansia
sebaiknya didorong untuk mempersembahkan tahun-tahun hidupnya yang tersisa, yang
jumlahnya hanya diketahui Allah, kepada suatu perutusan baru yang diterangi Roh
Kudus. Mereka memasuki suatu rahmat yang istimewa yang membukakan kepada mereka
kesempatan baru untuk berdoa dan bersatu dengan Allah.
- Cobaan, sakit dan penderitaan
Cobaan, sakit dan
penderitaan merupakan “pemenuhan” dalam tubuh dan hati dari sengsara Kristus
demi Gereja dan demi dunia (Kol 1:24). Kaum lansia hendaknya dibantu untuk
menyambut salib-salib ini dengan semangat atau kerendahan hati dan ketaatan kepada
kehendak Allah dengan mengikuti jejak Kristus.
- Komitmen kepada “budaya kehidupan”
Manusia tidak
dapat memilih berdasarkan kehendak sendiri untuk hidup atau mati, dan tidak
dapat memutuskan hidup atau mati orang lain. Hidup dan mati seseorang hanya
Tuhan yang berkehendak. Oleh sebab itu kecenderungan orang untuk menghargai
hidup hanya sejauh hidup itu mendatangkan kesenangan dan kesejahteraan jasmani,
dan memandang penderitaan sebagai beban yang tertanggungkan harus dilenyapkan.
Dalam situasi apa pun Gereja senantiasa membela budaya kehidupan.
Reksa pastoral bagi kaum lansia
Memperhatikan
situasi dan kondisi lansia yang beraneka ragam, pelayanan pastoral Gereja
kepada kaum lansia harus mencapai tujuan-tujuan berikut:
- Membangkitkan kesadaran
Gereja harus dapat
meningkatkan kesadaran akan kebutuhan-kebutuhan kaum lansia, terutama kebutuhan
untuk dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat dengan melakukan
kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kondisi mereka.
- Menangkal sikap-sikap pengunduran diri
Kaum lansia harus
dibantu untuk mengatasi sikap acuh tak acuh serta tak percaya diri yang
merintangi mereka untuk berpastisipasi aktif dan bersolidaritas.
- Meningkatkan integrasi
Kaum lansia harus
diintegarisikan, tanpa diskriminasi apa pun, ke dalam jemaat kristiani. Tidak
seorang pun boleh dijauhkan dari rahmat Allah, pewartaan sabda, penghiburan
doa, atau kesaksian amal kasih.
- Mengambil bagian dalam hidup sakramental Gereja
Kaum lansia harus
dibantu untuk mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi, sakramen tobat serta
latihan-latihan rohani. Juga harus diambil langkah-langkah yang memastikan
bahwa keterlibatan mereka dalam peristiwa-peristiwa seperti itu tidak terhalang
oleh hambatan-hambatan fisik atau kurangnya tenaga yang mampu untuk menemani
dan mendampingi mereka.
- Memberikan reksa rohani
Pemeliharaan dan
pertolongan kepada kaum lansia yang lemah atau cacat atau yang tidak lagi
menguasai sepenuhnya daya-daya fisik atau mental mereka, juga harus mencakup
reksa rohani. Dengan berdoa dan bersatu dalam iman, reksa rohani ini harus
memberikan kesaksian bahwa nilai hidup itu tidak dapat dicabut, bahkan apabila
dalam keadaan sakit yang sudah tidak dapat diobati.
- Memberikan Sakramen Perminyakan
Pemberian Sakramen
Perminyakan Orang Sakit dan Viaticum
harus diselenggarakan secara istimewa dengan didahului katekese yang sesuai.
Bila keadaan memungkinkan, seyogianya para imam memasukkan Sakramen Perminyakan
Orang Sakit dalam perayaan-perayaan para jemaat baik di paroki maupun di tempat
tinggal para lansia.
- Menghibur orang-orang yang sakitnya tidak terobati
Berbagai upaya
harus diusahakan untuk melawan kecenderungan meninggalkan orang-orang yang
hampir meninggal dan membiarkan mereka tidak menerima pendampingan spiritual
dan penghiburan manusiawi. Tugas ini tidak hanya terletak di pundak para pastor
yang peranannya sangat asasi, tetapi juga di pundak keluarga serta jemaat.
- Memperhatikan imam-imam yang lanjut usia
Tidak boleh
dilupakan bahwa dalam kaum lansia juga termasuk imam-imam, pejabat-pejabat
Gereja, dan gembala-gembala jemaat Kristiani. Gereja Keuskupan harus
bertanggung jawab memelihara imam-imam yang sudah lanjut usia dan memberikan perumahan
yang memadai serta bentuk-bentuk dukungan yang lain. Umat paroki juga dipanggil
untuk memberikan sumbangannya. Umat paroki harus mengambil langkah-langkah
untuk menjamin bahwa imam-imam lanjut usia yang sudah tidak lagi melayani
secara aktif atau sakit-sakitan mendapatkan tempat tinggal yang layak. Hal yang
sama berlaku juga bagi komunitas-komunitas religius dan para pembesarnya di
mana mereka harus memberikan perawatan khusus kepada saudara-saudara dan
saudari-saudari mereka yang sudah lanjut usia.
- Menciptakan solidaritas antar generasi
Generasi muda
harus dididik untuk bersolidaritas dengan anggota-anggota yang sudah lanjut
usia. Solidaritas antar generasi seperti ini juga diungkapkan dalam
persahabatan yang dapat diberikan oleh kaum muda. Dalam masyarakat di mana
egosisme, materialisme dan konsumerisme sering terjadi serta sarana-sarana
komunikasinya tidak banyak berguna untuk meringankan beban berat kesepian
manusia, nilai-nilai seperti altruisme, dedikasi, persahabatan, penerimaan dan
penghormatan merupakan tantangan bagi orang-orang, termasuk kaum muda yang
mengupayakan lahirnya bangsa manusia yang baru.
Sumber utama:
Pernyataan Dewan Kepausan untuk Kaum Awam dan Surat Paus Yohanes
Paulus II, Dari Roma untuk Lansia, Yogyakarta, Kanisius, 2002.
Al. Bagus Irawan MSF
Catatan:
Tulisan ini pernah di muat dalam majalah UTUSAN periode bulan April
tahun 2011.