Friday, February 22, 2013

MEMASUKI MASA LANSIA DENGAN BAHAGIA





“Masa hidup kami hanya tujuh puluh tahun, dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” (Mzm 90: 10).

Mazmur di atas merupakan kutipan yang diambil oleh almarhum Paus Yohanes Paulus II saat beliau menulis surat untuk lansia. Tujuh puluh tahun merupakan usia lanjut ketika kata-kata itu dituliskan dalam mazmur  dan tidak banyak orang yang usianya melebihi tujuh puluh tahun. Dewasa ini, ilmu kedokteran sudah maju dan keadaan sosial ekonomi sudah membaik, maka usia harapan hidup pun semakin meningkat di banyak bagian dunia. Namun, benar juga bahwa tahun-tahun berlalu dengan cepat dan anugerah hidup, meskipun mengandung segala macam jerih payah dan derita, sangat indah dan berharga sehingga tidak selayaknya kita merasa jemu.

Makna dan Nilai Usia tua
                Dewasa ini orang hidup lebih lama dan lebih sehat daripada masa lalu. Berkat pendidikan mereka yang lebih tinggi mereka dapat mengembangkan segala bakat-bakat dan minat-minat. Usia tua tidak lagi berarti ketergantungan pada orang lain atau berkurangnya mutu hidup. Seringkali muncul anggapan bahwa usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa kelemahan manusia dan sosial. Ada sebagian orang-orang yang lanjut usia memandang usia tua sebagai pengalaman yang traumatis serta bereaksi terhadap usia tua mereka dengan sikap-sikap kepasrahan yang pasif, pemberontakan, penolakan dan keputusasaan. Pandangan seperti itu tentu tidak sepenuhnya benar. Ada orang-orang berusia lanjut yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks eksistensi manusia dan yang menghadapi usia tua tidak hanya dengan ceria dan bermartabat, tetapi juga sebagai masa hidup yang memberi mereka kesempatan-kesempatan untuk tumbuh berkembang dan bertekad berbakti.
                Mutu usia tua seseorang bergantung terutama pada kemampuannya untuk memahami maknanya dan menghargai nilainya, baik pada tingkat manusiawi semata-mata maupun pada tingkat iman. Oleh sebab itu, kita harus meletakkan usia tua dalam konteks penyelenggaraan Allah sendiri yang adalah kasih. Setiap orang harus menyambutnya sebagai tahap dalam perjalanan yang digunakan oleh Kristus untuk menuntun kita ke rumah Bapa (lih. Yoh 14:2). Hanya dengan diterangi iman dan diperkuat oleh pengharapan yang tidak akan sia-sia (lih Rm 5:5), kita akan mampu menyambut usia tua dengan cara-cara yang benar kristiani, baik sebagai anugerah maupun tugas.
                Kehadiran para lansia harus diakui sebagai anugerah. Bagaimana pun kekehadiran para lansia tetap memberikan sumbangan bagi generasi zaman ini untuk menemukan kembali makna utama hidup. Berkat pengalamannya para lansia mampu menjadikan masyarakat dan kebudayaan lebih manusiawi dan sangat berharga. Berikut merupakan karisma-karisma khas usia tua, yaitu: 1) Sikap tanpa pamrih. Kebudayaan zaman ini mengukur nilai tindakan-tindakan seseorang menurut kriteria-kriteria efisiensi dan kesuksesan dengan mengabaikan sikap tanpa pamrih: memberi sesuatu tanpa mengharapkan balasan. Para lansia dapat mengingatkan masyarakat yang terlalu sibuk akan perlunya meretas rintangan-rintangan dari sikap acuh tak acuh yang memerosotkan. 2) Ingatan. Generasi muda sedang kehilangan kesadaran bersejarah dan akibatnya kesadaran akan jati diri mereka sendiri. Masyarakat yang mengabaikan masa lalu lebih mudah beresiko mengulangi kesalahan-kesalahannya. Hal ini antara lain disebabkan oleh sistem kehidupan yang telah menyingkirkan dan mengasingkan kaum lansia. 3) Pengalaman. Dewasa ini orang hidup dalam dunia yang rupanya telah menggantikan nilai pengalaman kaum lansia sepanjang hidup mereka dengan ilmu dan teknologi. Kedua hal tersebut tidak boleh menghalangi para lansia, sebab bagaimanapun juga mereka masih memiliki banyak hal untuk dikatakan kepada generasi muda dan dibagikan kepada mereka. 4) Kebergantungan satu sama lain. Orang-orang lanjut usia, dalam usaha mereka mencari kawan, menantang masyarakat yang kerap kali meninggalkan mereka yang lebih lemah. Kaum lansia mengingatkan kita akan kodrat sosial manusia dan perlunya memperbaiki tata susun hubungan antar pribadi dan sosial. 5) Visi hidup yang lebih lengkap. Usia lansia merupakan usia kesederhanaan dan kontemplasi. Nilai-nilai afektif, moral dan religius yang hidup dalam diri kaum lansia merupakan sumber daya yang sangat diperlukan untuk memupuk keselarasan masyarakat, keharmonisan keluarga dan keserasian individu. Nilai-nilai ini mencakup kesadaran yang bertanggungjawab, iman akan Allah, persahabatan, sikap tidak memihak pada kekuasaan, pertimbangan, kebijaksanaan, kesabaran dan keyakinan batin yang dalam akan perlunya menghormati alam ciptaan dan memupuk kedamaian.  

Masalah utama yang dihadapi lansia: Marginalisasi
                Satu masalah yang barangkali melebihi masalah-masalah lain yang melukai martabat para lansia adalah marginalisasi. Banyak faktor yang membuat banyak lansia tersisih dalam masyarakat dan kehidupan sipil: ketersingkiran dari tanggung jawab pada tingkat kelembagaan dan kelemahan-kelemahan sosial yang diakibatkannya; kemiskinan atau berkurangnya secara drastis pendapatan serta sumber-sumber daya finansial yang diperlukan untuk menjamin standar hidup yang layak; dan semakin tersingkirnya kaum lansia dari keluarga dan lingkungan sosial mereka sendiri.
                Selain faktor-faktor di atas, faktor yang paling menyedihkan dari marginalisasi ini adalah berkurangnya hubungan-hubungan manusiawi. Para lansia menderita tidak hanya karena tidak dapat berkontak dengan orang lain, tetapi juga karena merasa ditinggalkan, kesepian dan terpencil. Para lansia mengalami suatu rasa tidak berdaya karena tidak dapat mengubah situasi mereka sendiri sebagai akibat ketidakmampuan mereka untuk ambil bagian dalam pengambilan keputusan yang menyangkut mereka baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara. Akibatnya, mereka kehilangan rasa kebersamaan dengan masyarakat tempat mereka berada sebagai anggota.

Peran serta lansia dalam kerasulan Gereja
                Tidak dapat dipungkiri bahwa lansia masih dapat ikut berperan serta dalam kerasulan Gereja. Oleh sebab itu persekutuan gerejawi dipanggil untuk menanggapi partisipasi para lansia dalam Gereja dengan mempertimbangkan “karunia” mereka sebagai saksi tradisi iman (Mzm 44:2; Kel 12:26-27), sebagai guru kebijaksanaan hidup (Sir 6:34; 8:11-12), dan sebagai pekerja amal kasih. Berikut berbagai bidang yang terbuka untuk kesaksian lansia dalam Gereja:
  1. Kegiatan amal kasih
Banyak di antara para lansia yang masih mempunyai kekuatan fisik, mental dan sipiritual yang cukup untuk membaktikan waktu dan bakat mereka sendiri dengan penuh kemurahan hati kepada berbagai kegiatan dan program pelayanan sukarela.

  1. Kerasulan
Para lansia dapat memberikan sumbangan yang besar kepada pewartaan Injil sebagai katekese dan hidup rohani.

  1. Liturgi
Banyak para lansia sudah secara efektif memberikan sumbangan kepada pelayanan di tempat-tempat ibadat. Mereka dapat dilibatkan dalam pelayanan liturgi, serta bentuk-bentuk devosi yang lain.

  1. Perkumpulan dan gerakan gerejawi
Sesudah Konsili Vatikan II, kaum lansia mulai menunjukkan minat yang lebih kuat pada persekutuan iman mereka. Perkumpulan dan gerakan gerejawi yang semakin tumbuh sungguh memperkaya Gereja. Hal ini dikarenakan adanya suatu bentuk partisipasi lintas generasi.

  1. Keluarga
Keluarga dan masyarakat dapat memetik banyak manfaat dari penilaian kembali peran kaum lansia dalam pendidikan. Hal ini dikarenakan kaum lansia merupakan “ingatan sejarah” bagi generasi muda. Kaum lansia adalah pengemban nilai-nilai asasi manusia.

  1. Kontemplasi dan doa
Kaum lansia sebaiknya didorong untuk mempersembahkan tahun-tahun hidupnya yang tersisa, yang jumlahnya hanya diketahui Allah, kepada suatu perutusan baru yang diterangi Roh Kudus. Mereka memasuki suatu rahmat yang istimewa yang membukakan kepada mereka kesempatan baru untuk berdoa dan bersatu dengan Allah.

  1. Cobaan, sakit dan penderitaan
Cobaan, sakit dan penderitaan merupakan “pemenuhan” dalam tubuh dan hati dari sengsara Kristus demi Gereja dan demi dunia (Kol 1:24). Kaum lansia hendaknya dibantu untuk menyambut salib-salib ini dengan semangat atau kerendahan hati dan ketaatan kepada kehendak Allah dengan mengikuti jejak Kristus.

  1. Komitmen kepada “budaya kehidupan”
Manusia tidak dapat memilih berdasarkan kehendak sendiri untuk hidup atau mati, dan tidak dapat memutuskan hidup atau mati orang lain. Hidup dan mati seseorang hanya Tuhan yang berkehendak. Oleh sebab itu kecenderungan orang untuk menghargai hidup hanya sejauh hidup itu mendatangkan kesenangan dan kesejahteraan jasmani, dan memandang penderitaan sebagai beban yang tertanggungkan harus dilenyapkan. Dalam situasi apa pun Gereja senantiasa membela budaya kehidupan.

Reksa pastoral bagi kaum lansia
                Memperhatikan situasi dan kondisi lansia yang beraneka ragam, pelayanan pastoral Gereja kepada kaum lansia harus mencapai tujuan-tujuan berikut:
  1. Membangkitkan kesadaran
Gereja harus dapat meningkatkan kesadaran akan kebutuhan-kebutuhan kaum lansia, terutama kebutuhan untuk dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kondisi mereka.

  1. Menangkal sikap-sikap pengunduran diri
Kaum lansia harus dibantu untuk mengatasi sikap acuh tak acuh serta tak percaya diri yang merintangi mereka untuk berpastisipasi aktif dan bersolidaritas.

  1. Meningkatkan integrasi
Kaum lansia harus diintegarisikan, tanpa diskriminasi apa pun, ke dalam jemaat kristiani. Tidak seorang pun boleh dijauhkan dari rahmat Allah, pewartaan sabda, penghiburan doa, atau kesaksian amal kasih.

  1. Mengambil bagian dalam hidup sakramental Gereja
Kaum lansia harus dibantu untuk mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi, sakramen tobat serta latihan-latihan rohani. Juga harus diambil langkah-langkah yang memastikan bahwa keterlibatan mereka dalam peristiwa-peristiwa seperti itu tidak terhalang oleh hambatan-hambatan fisik atau kurangnya tenaga yang mampu untuk menemani dan mendampingi mereka.

  1. Memberikan reksa rohani
Pemeliharaan dan pertolongan kepada kaum lansia yang lemah atau cacat atau yang tidak lagi menguasai sepenuhnya daya-daya fisik atau mental mereka, juga harus mencakup reksa rohani. Dengan berdoa dan bersatu dalam iman, reksa rohani ini harus memberikan kesaksian bahwa nilai hidup itu tidak dapat dicabut, bahkan apabila dalam keadaan sakit yang sudah tidak dapat diobati.

  1. Memberikan Sakramen Perminyakan
Pemberian Sakramen Perminyakan Orang Sakit dan Viaticum harus diselenggarakan secara istimewa dengan didahului katekese yang sesuai. Bila keadaan memungkinkan, seyogianya para imam memasukkan Sakramen Perminyakan Orang Sakit dalam perayaan-perayaan para jemaat baik di paroki maupun di tempat tinggal para lansia.

  1. Menghibur orang-orang yang sakitnya tidak terobati
Berbagai upaya harus diusahakan untuk melawan kecenderungan meninggalkan orang-orang yang hampir meninggal dan membiarkan mereka tidak menerima pendampingan spiritual dan penghiburan manusiawi. Tugas ini tidak hanya terletak di pundak para pastor yang peranannya sangat asasi, tetapi juga di pundak keluarga serta jemaat.

  1. Memperhatikan imam-imam yang lanjut usia
Tidak boleh dilupakan bahwa dalam kaum lansia juga termasuk imam-imam, pejabat-pejabat Gereja, dan gembala-gembala jemaat Kristiani. Gereja Keuskupan harus bertanggung jawab memelihara imam-imam yang sudah lanjut usia dan memberikan perumahan yang memadai serta bentuk-bentuk dukungan yang lain. Umat paroki juga dipanggil untuk memberikan sumbangannya. Umat paroki harus mengambil langkah-langkah untuk menjamin bahwa imam-imam lanjut usia yang sudah tidak lagi melayani secara aktif atau sakit-sakitan mendapatkan tempat tinggal yang layak. Hal yang sama berlaku juga bagi komunitas-komunitas religius dan para pembesarnya di mana mereka harus memberikan perawatan khusus kepada saudara-saudara dan saudari-saudari mereka yang sudah lanjut usia.

  1. Menciptakan solidaritas antar generasi
Generasi muda harus dididik untuk bersolidaritas dengan anggota-anggota yang sudah lanjut usia. Solidaritas antar generasi seperti ini juga diungkapkan dalam persahabatan yang dapat diberikan oleh kaum muda. Dalam masyarakat di mana egosisme, materialisme dan konsumerisme sering terjadi serta sarana-sarana komunikasinya tidak banyak berguna untuk meringankan beban berat kesepian manusia, nilai-nilai seperti altruisme, dedikasi, persahabatan, penerimaan dan penghormatan merupakan tantangan bagi orang-orang, termasuk kaum muda yang mengupayakan lahirnya bangsa manusia yang baru.

Sumber utama:
Pernyataan Dewan Kepausan untuk Kaum Awam dan Surat Paus Yohanes Paulus II, Dari Roma untuk Lansia,  Yogyakarta, Kanisius, 2002.

Al. Bagus Irawan MSF
Catatan:
Tulisan ini pernah di muat dalam majalah UTUSAN periode bulan April tahun 2011.

Thursday, February 21, 2013

NATAL: CINTA DAN KEPRIHATINAN ALLAH BAGI MANUSIA



NATAL: CINTA DAN KEPRIHATINAN ALLAH BAGI MANUSIA
Beberapa Pokok Renungan tentang Keluarga Kudus Nazaret

Setiap tahun kita merayakan Natal, merayakan kembali kelahiran Yesus Kristus Sang Penebus. Dalam perayaan itu kita merenungkan kembali bahwa misteri Allah yang berpaling kepada manusia mendapat bentuk yang kongkret dalam Keluarga Kudus Nazaret. Puncak dari misteri itu adalah penjelmaan Putera Allah yang terjadi dalam Keluarga Kudus. Dalam keluarga itu jawaban manusia atas pemberian Allah pun mendapat ungkapan yang paling jelas. Maka dalam Keluarga Kudus kita menemukan kedua unsur ini: a) Allah mengutus Putera-Nya untuk memberikan keselamatan kepada kita serta untuk memperdamaikan kita dengan-Nya; b) dalam Maria dan Yusuf umat manusia menerimanya dengan hati penuh syukur. Berikut ini merupakan pokok renungan tentang Keluarga Kudus berdasarkan Perjanjian Baru:

1. Keluarga Kudus seperti Keluarga-keluarga lain
            Ketiga injil sinoptik memuat perikopa tentang pewartaan Yesus di rumah ibadat Nazaret (Mat 13: 53-58; Mrk 6: 1-6; Luk 4: 14-30). Ketiga penginjil memberikan reaksi dari pihak pendengar: a) rasa heran, takjub, reaksi positif atas cara mengajar yang menarik; b) rasa kecewa, menolak, reaksi negatif: Ia seorang yang biasa yang sudah lama kita kenal, bagaimanakah Ia berani tampil ke muka seakan-akan Ia seorang yang luar biasa.
            Peristiwa itu sangatlah penting sebagai sumber informasi tentang kehidupan Keluarga Kudus Nazaret. Meskipun di satu pihak orang-orang Nazaret merasa bangga dan tertarik dengan pewartaan Yesus, namun di lain pihak rasa kecewa, tersandung, begitu kuat, sehingga mereka menolak Dia. Reaksi kedua itu hanya masuk akal, kalau ternyata Yesus dan keluarga-Nya selama puluhan tahun di Nazaret tidak pernah memberi alasan bahwa Yesus seorang istimewa dan luar biasa. Oleh sebab itu boleh ditarik kesimpulan bahwa Keluarga Kudus seperti semua keluarga-keluarga lain di desa kecil Nazaret. Keluarga-keluarga tersebut hidup sebagai petani, sederhana, tidak kaya tidak miskin. Perumahan, termasuk rumah Keluarga Kudus, cukup baik jika diperbandingkan dengan perumahan waktu itu di desa-desa lain. Rumah Yusuf misalnya terdiri atas dua ruangan yang cukup besar; ruangan pertama adalah suatu gua alam yang diberi tambahan ruangan baru di depan dengan konstruksi papan. Dan di bawah lantai gua dipahat suatu ruangan ekstra lagi semacam gudang untuk menyimpan gandum, minyak zaitu, anggur dlsb. Rumah seperti itu cukup mewah menurut ukuran zaman. Kalau Yusuf/Yesus disebut sebagai “tukang kayu”, maka harus dimengerti, bahwa di samping pekerjaan sebagai petani ia mempunyai keahlian khusus sebagai tukang. Kombinasi petani-tukang menjamin suatu kesejahteraan lumayan, apalagi bagi keluarga kecil seperti mereka. Bagaimana pun juga, bayangan kita tentang Keluarga Kudus sebagai keluarga yang miskin tidak berdasarkan fakta.
Penting bagi renungan kita tentang Keluarga Kudus adalah catatan tadi, bahwa mereka hidup secara biasa, tidak menyolok di Nazaret. Jadi mereka mengikuti irama pekerjaan, waktu libur, doa yang biasa bagi keluarga Yahudi saleh di pedalaman.

2. Ketaatan
            Unsur lain yang ditekankan dalam diri Keluarga Kudus adalah ketaatan. Dalam Injil Kanak-kanak kita menemukan dimensi ketaatan itu. Dalam Injil Matius  dikatakan sampai tiga kali, bahwa Yusuf taat kepada kehendak Tuhan. Dalam Mat 1:19 dikatakan tentang Yusuf: “seorang yang tulus hati”. Itu merupakan istilah teknis untuk menggambarkan Yusuf sebagai pribadi yang saleh, suci, yang hidup dalam segala sesuatu sesuai dengan Hukum Taurat. Lukas menggarisbawahi kerelaan Maria untuk taat kepada Allah dalam perikopa tentang Kabar Gembira (“cerita panggilan Maria”, Luk 1: 26-38). Cerita mencapai puncaknya dalam pernyataan taat Maria kepada kehendak Tuhan yang disampaikan kepadanya oleh malaikat: “Sesungguhnya….” Cerita tentang Yesus yang hilang di kenisah memuat dua unsur ketaatan Yesus: ay 49 “Tidakkah kamu tahu, bahwa aku harus berada…” dan dalam ringkasan hidup di Nazareth sesusah peristiwa itu (ay 51-52) dikatakan: “….. dan Ia patuh kepada mereka….”.
            Tentang Keluarga Kudus sebagai keseluruhan Lukas menekankan ketaatan, baik ketaatan kepada Allah yang kehendak-Nya diketahui melalu perintah penguasa politik: perjalanan ke Bethlehem bagi sensus, maupun kepada Allah yang kehendak-Nya diketahui melalui Hukum Taurat (Luk 2: 22-42).

3. Kesediaan untuk melayani
            Maria mengggambarkan diri sebagai hamba Tuhan (Luk 1:37 dan 1:48). Hamba (atau budak) Tuhan menggambarkan dua unsur: kebanggaan karena boleh menjadi hamba Tuhan dan kesadaran akan ketergantungan 100% dari Tuhan: aku ini hanya hamba Tuhan saja, Tuhan boleh mengatur saya, Dialah majikanku. Tokoh-tokoh besar dalam PL seperti Abraham, Musa, nabi-nabi diberi “gelar” hamba Tuhan. Disamping itu ada perikopa Luk 1: 39-45, 56 tentang pelayan Maria terhadap Elisabet. Tentang Yusuf Mat 1: 24-25 berceritera, bahwa ia rela menjadi seperti bapa bagi Yesus dan suami bagi Maria, kedudukan yang istimewa itu memberikan lebih banyak kewajiban daripada hak  kepada Yusuf, tetapi ia bersedia menerima peranan yang terbatas itu demi Yesus dan Maria.

4. Doa
            Renungan tentang doa dalam Keluarga Kudus harus bertitik-tolak pada kebiasaan bagi orang Yahudi saleh di zaman Yesus. Sudah cukup biasa bagi orang waktu itu untuk menguduskan hari dengan berkumpul di sinagoga pagi dan sore untuk mendaraskan doa. Selain doa bersama di sinagoga, orang Yahudi juga berdoa dalam keluarga, sekurang-kurangnya doa sebelum makan yang berbentuk rumusan pujian kepada Allah yang memberikan rejeki. Demikianlah sudah terjamin suatu irama doa yang menguduskan hari.
            Dalam Luk 2: 19;51 Lukas menggarisbawahi kebiasaan Maria untuk merenungkan peristiwa-peristiwa istimewa yang dialaminya, artinya peristiwa dan perkataan yang belum jelas pada saat itu, direnungkan terus dihadapan Tuhan sampai terang iman menyinari peristiwa dan perkataan itu, sehingga sedikit demi sedikit arti mendalam menjadi jelas baginya. Pada kesempatan kunjungan kepada Elisabet, Maria berdoa Magnificat. Magnificat merupakan semacam mazmur pujian dari orang-orang kristen yahudi pada abad pertengahan. Dengan doa itu mereka ingin memuji Allah yang sejak dulu bertindak di Israel sesuai dengan janji-janji-Nya kepada leluhur Abraham, dan tindakan itu memuncak dalam diri Yesus, dalam karya penyelamatan-Nya. Maria menjadi teladan dalam menanggapi karya keselamatan melalui pujian.
            Tentang Yesus ada catatan bahwa hubungan dengan Allah semakin mendalam  (Luk 2:40, 52). Juga catatan dari Luk 2:49 tentang “harus berada dalam rumah Bapa-Ku” menyatakan hubungan yang semakin erat antara Yesus dan Bapa. Dan kebiasaan Yesus selama hidup publik-Nya untuk menyendiri kerap kali guna berdoa mengandaikan suatu kebiasaan yang sudah pasti sudah berkembang di Nazaret. Hal yang sama dapat dikatakan tentang sekian banyak pengajaran Yesus tentang doa: pengajaran dimaksudkan untuk menanamkan dan mengembangkan dalam diri murid-murid-Nya kebiasaan dan pengalaman pribadi selama sekian tahun.
            Tentang Yusuf tiada catatan khusus, tetapi sebagai seorang Yahudi saleh yang hidup bersama-sama Maria dan Yesus yang sikap/ kebiasaan berdoa ditekankan, Yusuf tak dapat tidak mempunyai sikap yang sama.

5. Penderitaan
            Dalam Luk 2: 29-35 Simeon, atas dorongan dan pengaruh Roh Kudus (Luk 2: 25-27) mengartikan peranan Yesus dalam sejarah penyelamatan. Yesus akan menjadi kemuliaan bagi umat Israel dan sarana penyelamatan bagi semua bangsa. Itulah peranan luhur yang akan dijalankan Yesus. Orang tua-Nya tak dapat tidak heran dan bangga atas perkataan sehebat itu. Namun kemudian Simeon melengkapi nubuatnya dengan suatu keterangan yang menempatkan Yesus dalam deretan tokoh-tokoh besar PL. seperti Musa, seperti para nabi, karya penyelamatan Yesus akan menimbulkan dua reaksi: keselamatan bagi yang menerima Dia dan perkatan-Nya, penghancuran bagi yang menolak. Maria sebagai orang yang berhubungam erat dengan Yesus (dan hal yang sama berlaku bagi Yusuf) akan mengalami dalam hati seluruh derita yang disebabkan oleh penolakan terhadap Yesus. Yesus amat menderita dari penolakan yang akan membawa-Nya sampai Kalvari, tetapi Maria sebagai ibu-Nya akan berpartisipasi penuh dalam derita itu. Itulah pedang yang menembus jiwanya. Sejauh Yusuf masih mengalaminya (umumnya para ahli berpendapat, bahwa Yusuf meninggal sebelum karya publik Yesus), hal yang sama berlaku bagi dia. Nubuat Simeon membantu Keluarga Kudus untuk mengartikan derita yang mereka alami sebagai partisipasi dalam karya penyelamatan Allah melalui Yesus.

6. Iman
            Ciri yang paling menonjol dalam Keluarga Kudus adalah sikap iman mereka. Kita agak mudah mengandaikan bahwa cerita-cerita dalam Injil Kanak-kanak merupakan semacam laporan terperinci dari peristiwa (misalnya cerita tentang Kabar Gembira). Peristiwa-peristiwa ajaib sekitar kelahiran Yesus (kelahiran ajaib dari seorang perawan) menimbulkan sejumlah pertanyaan mengenai Anak itu tetapi sedikit jawaban saja. Maria menjawab “ya”. Selama 30 tahun mereka bertiga hidup dalam suasana gelap-terang yang khas bagi kita orang beriman. Sedikit demi sedikit mereka dan kita, dalam suasana doa dan renungan, dalam ketaatan dan keragu-raguan berkembang ke arah “ya!” bulat kepada kehendak Bapa. Selama masa di Nazaret berkembanglah dalam diri mereka “talenta dasar”, yakni keterbukaan bagi kehendak Allah, yang tidak/belum mereka ketahui dengan jelas dan kesediaan mereka untuk melaksanakannya.

Semoga melalui beberapa renungan mengenai Keluarga Kudus ini kita, keluarga-keluarga kristiani semakin dapat memaknai dengan benar perayaan Natal yang tidak selalu harus identik dengan pesta, baju baru dlsb, demikian pula dalam “berkatekese” tentang makna natal kepada generasi muda maupun anak-anak.  SELAMAT NATAL dan TAHUN BARU.

Al. Bagus Irawan MSF

Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah UTUSAN Edisi No. 12 Tahun ke- 61, Desember 2011.